Semalam gue nonton salah satu film karya dari orang seprofesi (insyaallah).Film ini diangkat dari novel besutan Iwan Setyawan, seorang
lanang dari Batu, Malang. Mengisahkan perjuangan seorang anak yang ingin terlepas dari pelukan kemiskinan.
"9 Summers 10 Autumns" Dari Kota Apel ke The Big Apel. Gue mengenal beliau saat beliau mengisi
Studium General di kampus gue. Ceritanya bagus, menginspirasi,bikin mewek karena gue seperti menonton kisah hidup sendiri, kenapa?
Hampir 90% kisah hidup beliau persis sama dengan kisah hidup gue. Dari tipikal orang tua hingga perjuangan gue untuk mendapatkan titel sebagai mahasiswa. Semuanya diawali dengan perjuangan dan air mata. Perdebatan batin, antara mimpi dan kepatuhan terhadap orang tua.
Gue terlahir dari keluarga yang tidak terlalu baik dalam hal pendidikan. Papa sekolah hanya hingga kelas 4 SD karena tidak memiliki biaya, untuk makan saja sudah syukur. Mama lulusan SMP, tidak bisa melanjutkan sekolah karena harus merawat Kakek yang mengidap stroke. Padahal Mama bercita-cita ingin jadi guru tapi Mama ikhlas, menurutnya merawat orang tua jauh lebih mulia daripada memaksakan untuk sekolah.
Papa merupakan orang yang pekerja keras dari kecil. Setelah berhenti sekolah beliau mulai berdagang dan mulai akrab dengan kehidupan pasar yang keras. Hasilnya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Papa kecil bukan anak yang bisa merasakan indahnya masa kecil. Masih ingat waktu Papa cerita waktu minta dibelikan sepeda, beliau malah dibawa ke warung dan dibelikan pisang agar berhenti merengek. Mama kecil juga bukan anak yang bisa mendapatkan segalanya, harus menunggu Kakek dapat panggilan ceramah atau pengajian biar dapat uang untuk jajan. Pulang sekolah harus melakukan pekerjaan rumah tangga, nyuci baju, ngeberesin rumah hingga masak untuk keluarga.
Gue cukup beruntung untuk hal kehidupan. Masa kecil gue jauh lebih baik daripada Mama Papa, gue bisa mendapatkan segalanya dalam hal materi tapi tidak untuk kebahagiaan keluarga seutuhnya. Papa seorang yang keras dan tempramen, memiliki pandangan "kuno" dalam hal kebahagiaan apalagi pendidikan. Bagi Papa pendidikan cukup sampai SMA, bisa baca hitung, habis lulus langsung melanjutkan usaha keluarga, setidaknya ini udah jelas hasilnya. Kuliah itu mahal, buang-buang waktu, dan belum tentu juga kerja, cari kerja sekarang susah, paling ntar juga bakal "manjua lado". Terkadang gue mampu memaklumi ini karena kehidupan Papa yang lama di "pasar" tapi gue ga sekuat itu, terkadang rapuh. Apalagi kalo berdebat berdua, atau ada teman beliau nanya "dima Rina ka kuliah tamat SMA?" "mungkin ndak kuliah, untuak apo kuliah, banyak yang siap kuliah nganggur,rancaklah manggaleh lado di pasa, jaleh pitihnyo". Iya, ini perkataan yang sering gue denger dan akhirnya cuma nangis dan terus berharap prinsip ini akan berubah seiring berjalannya waktu. Pada keadaan seperti ini Mama satu-satunya orang yang memberikan support untuk sabar, yakin, dan terus maju. "Mama ada di depan Na, ga usah dipikirin, apapun yang terjadi Na tetap dan harus kuliah, Mama janji. Bagi Mama, ilmu lebih penting dari harta. Mama bakal tenang jika meninggalkan kalian dengan ilmu daripada harta, dengan ilmu kalian bisa bertahan hidup, tapi dengan harta belum tentu. Cukup mama yang tidak bisa melanjutkan sekolah, kalian harus. Ayah Mama dulu petani, sekarang Mama pedagang, kalian harus bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari Mama". Karena ini gue sangat meyakini kalo Mama adalah malaikat yang dikirim oleh Allah dan kado teridah untuk setiap insan di dunia.Penyejuk jiwa.
Hingga di suatu malam, Papa pulang dari pasar dan manggil gue. Duduk dan ngomong bertiga sama Mama. Ga tau kenapa tiba-tiba Papa bertanya apa gue tetap mau kuliah, kalau iya silahkan daftar, untuk biaya nanti Papa usahain. Jujur, gue bahagia dan berkali-kali berterima kasih sama Papa karena telah mengizinkan. Gue yakin ini hasil doa, keyakinan, dan air mata gue selama ini. Allah tidak pernah tidur, Allah mampu melunakkan hati sekeras apapun itu. Sebenarnya untuk kuliah Papa punya dana yang cukup, bahkan itu ga akan terlalu berpengaruh. Tapi mindset nya kuliah itu mahal dan belum dapat gambaran sama sekali. Gue memaklumi itu.
Beberap hari setelah UN, Papa terserang stroke, setengah badannya lumpuh. Ini menjadi pukulan berat bagi gue untuk tetap melanjutkan mimpi. Kenapa? Gue mendaftar di salah satu Universitas di Pulau Jawa karena dari dulu memang bermimpi bisa kuliah di luar, setidaknya biayanya akan jauh lebih besar dibandingin gue kuliah di Padang, sedangkan dengan keadaan Papa sekarang jelas hanya Mama yang akan mencari nafkah. Tapi Mama tetap menyuruh mengejar mimpi dan melarang untuk memberi tahu Papa, takutnya nanti tidak diizinkan. Kata mama ga masalah, Papa biar Mama yang ngurus, ga usah dipikirin.
Ketika pengumuman hasil SNMPTN, alhamdulillah gue lulus pilihan pertama berkat doa Mama, artinya gue bakal terpisah jauh dari keluarga. Namun gue masih ada hutang untuk ngasih tahu Papa. Mama meyakinkan insyaallah diizinkan, tetapi ternyata tidak. Papa marah dan tidak menerima, kenapa harus diluar, kenapa harus jauh, kenapa tidak di Padang saja, dekat. Papa menyuruh gue melepaskan dan mengulang ujian lagi, ambil yang di Padang saja. Bibir gue kelu, air mata keluar. Gue cuma diam, Mama terus berdebat dengan Papa, berusaha untuk meyakinkan dan semua bakal baik-baik saja. Dua hari kemudian Papa memanggil gue dan akhirnya mengizinkan dengan kalimat yang masih kurang jelas karena dalam keadaan stroke. Gue peluk Papa dan menangis di pundaknya. Dan lagi-lagi Allah memperlihatkan kuasanya.
Dengan keadaan Papa yang lagi sakit, Mama tidak mungkin memberikan beban masalah biaya kepada Papa. Mama menyuruh gue ke rumah saudara untuk mengambil uang untuk biaya awal kuliah. Ini yang membuat gue nangis dan terharu, ternyata Mama sudah menabung sedikit demi sedikit semenjak gue SD. Uang hasil kerjanya semasa gadis dibelikan ternak dan dipelihara oleh saudara Mama. Ini memang sudah diniatkan dari awal untuk gue. Disaat itu gue cuma bisa nangis dan berterima kasih sama Mama, semuanya dipikirin detail hanya untuk kelangsungan pendidikan anak-anaknya.
Gue berangkat ke perantauan pun tidak seenak teman-teman lainnya. Gue berangkat sendiri tanpa orang tua. Mama tidak bisa mengantar karena harus merawat Papa yang masih lumpuh dan bertanggung jawab mencari nafkah untuk keluarga. Gue menerima dengan ikhlas meskipun berat sebenarnya. Gue dititpin sama Mama Yayang, Yayang sahabat gue dari kecil, kebetulan kita kuliah di tempat yang sama. Dengan keadaan awal sebenarnya Papa tidak mengizinkan, keberangkatan ini pun dilepas Papa dengan air mata yang tiada henti. Dia masih menangis hingga gue sampai ditempat perjuangan. Gue tau gimana perasaan orang tua melepas anak gadisnya sendiri ke negeri orang tanpa ditemani, tapi mau gimana lagi keadaan memaksakan untuk seperti ini.
Gue mecoba ikhlas dan mengambil pelajaran dari perjuangan gue ini, gue yakin air mata yang sempat keluar tidak akan pernah sia-sia. Akan selalu ada jalan dari setiap doa yang diuntai.
Setelah menonton film ini, ternyata gue tidak sendiri. Mas Iwan juga memiliki Bapak dengan watak keras, kenapa harus kuliah, kenapa harus keluar kota, lebih baik menolong beliau jadi sopir angkot. Tapi bagi Mas Iwan tidak, dia takut kemiskinan, ilmu merupakan kekayaan yang tidak akan pernah habis. Dukungan Ibuknya jadi pendorong semangat yang sempat layu. Dan akhirnya sekarang satu per satu mimpi itu telah ia raih dan membuat bangga Ibuk Bapaknya.
Aku juga ingin seperti Mas Iwan. Aku meyakini kekuatan doa, mimpi, dan harapan. Tidak ada yang tidak mungkin ketika kita mampu dan meyakini bisa menembusnya. Allah tidak pernah sia-sia terhadap umatnya yang percaya.
Terima kasih Mama, berkat Mama Na bisa melanjutkan mimpi dan harapan KITA. Terima kasih Papa, berkat izin Papa na bisa disini dan seperti ini sekarang. Mimpi-mimpi ini buat Mama Papa. Tunggu Na untuk mewujudkan mimpi-mimpi ini dengan doa-doa Mama Papa.
Tuhan, izinkan ku mempersembahkan sebuah kebahagiaan dan kebanggaan bagi mereka. Membalas setiap tetesan keringat dari kulit mereka. Setiap untaian doa dan harapan mereka yang terus mecurah untuk anak-anaknya. Izinkanku melihat mereka menangis dan tersenyum bahagia ketika melihat anaknya bisa mendapatkan mimpi-mimpinya. Izinkan ku berucap "Ma, Pa, ini untuk Mama Papa, terima kasih untuk semuanya. Ini hasil dari keyakinan dan usaha kita selama ini. Sekarang giliran Na untuk mebahagiakan Mama Papa, kita tukeran tugas".
Aku percaya akan mimpi dan harapan. Izinkan Ya Allah, untuk Mereka.